Friends...I don't know about you, ya... tapi buat gue temen
itu penting. Penting banget malah. Soalnya, selama lebih dari seperempat abad
hidup gue ini, semua manis pahit kehidupan gue lalui dengan adanya orang orang
disekitar gue, and di luar keluarga gue mostly they are my friends. Rasanya,
biarpun kita berada di situasi yang paling kacrut sekalipun, kalo ada temen
semua masalah itu nampak lebih mudah terlewati.
Gue adalah orang yang sering nggak PD. Dulu, waktu gue kecil (hmm...nggak kecil
kecil amat kali ya, minimal lebih muda lah dari sekarang), malah lebih obvious
ketidak PD-an gue itu karena gue suka ngerasa nggak cantik lah, nggak pinter
pinter amat, nggak populer dan nggak punya bakat apa apa yang pada saat itu
menurut gue adalah alasan kenapa
some
people have so many friends around them. Gue cukup sering menatap iri ke
temen-teman gue yang sepertinya didn't
have to do much to have people lining up to be their friend. Ada masanya
gue berusaha keras untuk be 'somebody'
not just anybody, to get accepted di lingkungan circle
of friends gue. Rasanya gue harus jadi bagian dari friendship clique tertentu untuk bisa eksis. Ada masanya gue blend in, dan 'not be myself'. Gue boost
PD gue, gue try to win some friends for
me. Gue lupakan ego gue sementara, gue melakukan apa yang temen temen gue
lakukan, walau kadang kadang gue nggak bisa ngerti apa enaknya, anything to be
a part of them, to be recognized, to feel jadi bagian dari this big existence
called "FRIENDSHIP".
Took me a long hard while to realize, friends
are not supposed to be won over
.
So many people around us, yang ngobrol sama kita, makan dan ketawa sama kita,
nggak semuanya bisa dimasukin kategori friends. Kenalan
mungkin.....acquaintance kalo kata bahasa inggrisnya mah. Ini biasanya orang
orang yang kita kenal di permukaannya aja, kalo ketemu say hello, tapi temen
lebih ke yang hubungannya mendalam...people yang ngertiin kita, yang liking us
for who we are. Sekarang gue ngerasa nggak perlu usaha keras buat jadi orang
yang 'bukan gue banget' buat impress people. Selama gue nggak ganggu orang,
this is me, not perfect, just perfectly me. Glad if I can be your friend, but
won't die if you didn't want to be mine. Life's too short for such complications...right?
Pernah denger nggak wise saying ini:
"Real friends....
are people who walk in,
when others walk out..."
gue berpegang teguh sama masukan di atas. Temen yang memang bener-bener temen
adalah mereka yang stick with you even though you are in the deepest pile of
s**t. Walaupun mungkin mereka ngga bisa bantu banyak atau melakukan apa apa,
paling enggak, by being there...they give you moral support... that's what
being friends all about di mata gue. Bukan mereka yang hanya ada disekitar elo
pada saat everything's hunky dory, semua serba menyenangkan. Ehm...ini nggak
berarti temen yang beneran temen hanya ada pas kita susah aja lho...tapi
happiness shared with people who really care
for us, is truly thousands times better, seperti halnya sadness yang
dipikul sama sama, will pass us thousands
times faster.
Friends -
what would I do without them…bener banget tuh, gue rasa se-loner lonernya
seorang perempuan, pasti butuh keberadaan temen. Seperti gue membutuhkan
temen-temen gue.
Gue musti
berpikir keras, kapan tepatnya gue mulai bertemen sama my girls…karena masing
masing dari mereka punya posisi dan komposisi yang unik dalam hidup gue. Masing
masing punya cerita yang sedikit banyak ikut ngebentuk siapa gue sekarang ini.
CERITA LUCY
Seperti Lucy, misalnya…prototype
perempuan metropolis yang langsung bisa merebut gelar fun fearless female tanpa
harus keluar keringet. Semuanya ada di Lucy. Cantik? Tentuuuu…temen?
Banyaaak…gue jadi inget waktu baru kenal Lucy di tahun pertama kita kuliah, gue
sempet mengira dia itu nggak satu angkatan sama gue, secara dia kenalannya
serenceng….dari mulai anak basket sampe anak senat fakultas lain yang sering
menyapa dia di hall kampus. Jangan tanya kalau Lucy menampakkan diri di
kantin…biarpun kantin sedang penuh di peak hour makan siang, pasti dia dapet
aja tempat duduk. Gue lebih amazed lagi, begitu tau Lucy itu nggak cuma ngetop
karena cakep aja…she’s a brainiac! Lucy
tuh type orang yang bisa bisanya tidur waktu dosen biologi lagi nerangin segala
tetek bengek soal neuron dan sel sel otak, nongkrong ngopi sampe lewat tengah
malam, nggak pernah ngoyo belajar, tapi tetep dapet A waktu mid test. Yap,
she’s the kind of rare lucky people, saudara saudara…nggak kayak gue yang
mampus mampusan dengerin kuliah pagi, mencoba mendongkrak mata yang ngantuk
waktu menghafal istilah istilah aneh di system belajar kebut semalam gue, coba
bikin kebetan panjang yang ditulis di lengan, tapi teteeeup aja C+ porsi nilai
gue. Now THAT’s my kind of lucky J. But
anyway, Lucy is my friend. Nggak taulah gimana awalnya kita jadi deket,
tapi yang jelas we clicked.
Seperti yang sudah gue duga, dari
semua my girls, Lucy lah yang pertama memulai nulis skripsi. Sementara kita
masih asik asik pacaran dan menikmati kampus, Lucy sudah mulai mikir topik buat
skripsinya. “anjrit, euy…si Lucy udah cari cari bahan skripsi aja…gue nih, lagi
lagi gue nggak lulus statistik…gimana nasib gue dooong girls…masak semester
depan gue musti cuti??” seperti biasa dilemma gue berkisar kebututan otak gue
dalam hal matematika. Tapi herannya kalo soal duit, cepet banget otak gue
berputar. My girls cuma ketawa dan menenangkan gue…”ya ampun, Sa… lagian lo mau
nyamain si Lucy…dia mah anomaly, bisa sakit hati lo kalo ngebandinginnya sama
dia…” Sementara itu Lucynya sendiri cuma nyengir sambil menikmati sosis goreng
kesukaannya. “Gue ngejar ijin kawin, mak….si Dylan udah ngajak married, tapi
bokap nyokap gue bilang nggak ada cerita deh, kawin kawin kalo gue belom lulus
kuliah…” ujarnya dengan santai.
Oh damn…sekarang Lucy bukan hanya satu langkah di depan kita
kita…dia seperti sudah nyewa Event Organizer buat bikin hidupnya begitu
sempurna. Diusia muda, kuliah sambil bekerja part time di sebuah perusahaan
ternama, sudah punya pacar mapan yang siap meminangnya begitu gelar sarjana di
dapat. Dan if you knew Lucy the way we
did, itu sama sekali bukan masalah! Dugaan kita sahabat sahabatnya pun
terbukti, waktu suatu pagi kita sarapan bareng di kantin, sambil menunggu Lucy
sidang skripsi exactly 6 bulan
setelah proposal skripsinya dimasukkan. Lucy lulus dengan nilai yang…tentunya
cemerlang! Aaah…nggak habis habisnya keberuntungan sahabat gue yang satu ini.
Dylan, eksekutif muda yang setahun terakhir ini jadi pacar Lucy tidak menyia
nyiakan kesempatan ini untuk meminang Lucy saat itu juga, di depan kita semua,
di tengah kantin kampus yang mulai ramai, Dylan mengeluarkan sebentuk cincin
berlian, layaknya sebuah pinangan yang sempurna. Bohong kalo gue, dan gue
bicara mewakili my girls juga sepertinya, nggak hijau karena iri melihat semua
kemudahan yang Lucy dapat. Sepertinya semua itu too good to be true. Ingin rasanya bertukar tempat dengan Lucy, bisa
menikmati dunia dari sudutnya yang sungguh seperti dicomot langsung dari cerita
fairy tale. Tapi, hey! We are happy when she is happy…that’s what
friends are for, right???
Maka sibuklah my girls merancang
pernikahan Lucy. Dari mulai seragam, bachelorette
party sampai piala bergilir yang kita siapkan untuk diberikan di atas
pelaminan, saat my girls satu persatu menemukan tambatan hati. Mixed emotions alias perasaan nggak
karuan melihat dan menjadi saksi salah satu dari kita berjanji sehidup semati untuk
bersama seorang cowok. Antara senang melihat Lucy bahagia, sambil mikir:
kapaaan ya giliran gue? Hehehehe. Nggak apa apa kan, manusiawi dong. Namanya
juga manusia, sebahagia bahagianya kita melihat kebahagiaan orang lain, buntut
buntutnya kembali ke diri sendiri.
***
Cuaca sedang nggak bersahabat waktu
gue mengarahkan mobil ke daerah kemang. My girls ngajak ‘buka kamar’, alias
nginep di hotel, dimana kita menyewa satu kamar besar untuk bersama sama. Ini salah
satu bentuk pelepasan suntuk kita kalau baru selesai ujian akhir semester dan perayaan
beberapa oknum my girls yang ulang tahun. Setelah kurang lebih 5 bulanan nggak
ketemuan sama Lucy, buka kamar kali ini sekalian jadi ajang temu kangen dan wawancara
non formal tentang gimana kehidupan pernikahan sebenarnya. Gue kebagian jemput Lucy
yang rumahnya sejalan sama rumah gue. Belom lama setelah Lucy masuk mobil gue
dan cipika cipiki, dia duduk di samping gue dengan wajah sedikit beda. Seperti
sedang nahan pipis kalau boleh gue tebak…tapi ternyata dia memang nahan
sesuatu, yang tentunya bukan pipis. “Apa kabar lo, Sa…? Gue hamil nih…gimana ya
reaksi anak anak kalo tau gue hamil? But to tell you the truth, I’m not
thinking of keeping it” Cerita Lucy mengalir seperti air hujan tumpah dari
langit, namun suara Lucy agak terdengar ragu ragu. “you WHAT???” gue terpekik
sampai hampir injek rem dalam dalam. Gue ngelirik Lucy sambil nunggu dia ketawa
atau apa, yang menandakan dia lagi bohong atau becanda. Ternyata enggak.
“What’s going on, Luce?” di kepala gue kayaknya gila aja nih
si Lucy kalo emang serius sama omongannya barusan. Gue mencium adanya gelagat
ngga enak, dan datang dari Lucy, kayaknya hal beginian aneh aja.
“Eh…tunggu tunggu deh, bentar lagi sampe hotel…nanti aja deh
lo cerita sekalian ke anak anak supaya
nggak musti cerita ulang berkali kali” potong gue sebelom Lucy sempet cerita
lebih detail.
“Nnngg…enggak Sa, gue pengen cerita ke elo dulu aja. Just
you. Gue yakin anak anak akan bilang gue gila, dan nggak akan mau denger
penjelasan gue….” Lucy ternyata serius.
“Oke…” gue takut salah ngomong. Sumpah takut, tapi penasaran
“….tapi kenapa musti perlu penjelasan segala sih Luce… lo kan hamil ada
bapaknya, dalam pernikahan….trus…kenapa juga lo mikir….” Gue berhenti ngomong
waktu gue liat Lucy mulai sesengukan. Haiyyya….tuh kan gue salah ngomong!
“Itu dia, Sa…kok gue nggak happy ya waktu tau hamil? Kenapa
cepet banget? I don’t want it, Sa…gue…gue…ih, perempuan macam apa sih Sa gue
ini??” Lucy meremas remas tangannya sendiri, keliatan banget kalau dia gemes
dan bingung. Gue mikir: apakah ini yang namanya hormonal imbalance? Katanya kan
kalau seorang perempuan hamil, secara fisik terjadi perubahan gila gilaan,
salah satunya perubahan hormonal, yang bisa mengakibatkan mood swings. Gue
sendiri belom tau terlalu banyak, cuma sedikit sok tau aja. Apalah artinya gue yang belom pernah hamil
dan cuma dapet C+ di pelajaran biologi! Tapi gue tau banget kalau kenyataan
bahwa dirinya hamil membuat Lucy nggak nyaman sama sekali.
“Dylan shut me down waktu tau gue hamil, Sa….gue nggak boleh
lagi kerja, nggak boleh nge- gym, nggak boleh kemana mana….gue dikerem bulet
bulet! Bisa gila gue Sa…I can’t be giving up my life just like THAT, ya kan?
Not now….mungkin juga not ever….” Lucy termangu mendengar omongannya sendiri,
sementara gue tetep berusaha konsentrasi nyupir ditengah badai…badai angin di
luar dan badai emosi di dalam mobil. Aduh!
Di satu sisi gue mencoba mengerti keadaan dan perasaan Lucy,
dia yang serba bisa, penuh potensi dan ambisi, mungkin benar adanya kalau
kehadiran seorang bayi akan merubah segalanya. Tapi, kalau dipikir lebih jauh
lagi...seharusnya kan Lucy tau kalau mempunyai anak adalah salah satu result
dari sebuah pernikahan….bener nggak sih?
“Sa….menurut lo gue harus gimana?” Lucy menatap gue menunggu
jawaban, padahal gue sumpah deh nggak tau musti ngomong apa.
“Luce,” akhirnya gue coba untuk bersikap netral, “sudah jalan
berapa bulan kehamilan lo?”
“12 minggu, Sa…masih bisa kalo gue mau abort….”Lucy tertunduk,
sadar kalau omongannya terdengar sadis. Gue pegang tangannya, dingiiiin banget.
“Lo udah bicarain sama Dylan?”tanya gue.
“Udah. Dylan ngamuk, Sa…ini gue aja mau ikutan nginep nggak
bilang Dylan. Kalau dia tau pasti gue nggak akan dikasih pergi…”aku Lucy pelan.
Merasa nggak enak karena nggak bisa kasih jalan keluar
instant buat Lucy, gue cuma bisa jadi pendengar yang baik, karena gue cukup
tau, terkadang kalau temen lagi curhat, all
they need is to be heard. Nggak lebih. Gue berhenti cukup lama di parkiran,
membiarkan Lucy mengeluarkan uneg unegnya dan gue memastikan kalau gue nggak
sembarangan ngomong, gue pilih kata kata gue, menghindari provokasi. That’s the least I can do as her friend.
Gue percaya Lucy cukup dewasa untuk mengambil keputusan yang
terbaik untuk keluarganya. Untuk dirinya sendiri. Kadang kadang kalau one of my
girls curhat di moment kumpul bareng begini, masalah kita bergerak dari masalah
‘pribadi’ menjadi masalah ‘bersama’. Ada nilai positif dari kebiasaan ini,
secara all my girls akan urun rembuk berbagi ide, pengalaman dan cerita untuk
mencari jalan keluar dari sebuah masalah. Try
to be there for each other. Tapi jujurnya, nggak semua masalah menurut gue
bisa dijadiin topik diskusi panel seperti ini. Ada kalanya teman teman kita bisa
memberikan segala logika, rasio yang tak tebantahkan, tapi apa yang kita
rasakan, apa kata hati kita seringkali nggak sejalan sama semua itu. Dan kadang
setelah itu kita akan menjadi terlalu takut untuk mendengarkan apa kata hati
kita, kalau sejumlah panelis yang notabene temen temen kita sendiri sepakat
mengatakan kalau apa yang kita rasakan itu salah L.
Beberapa hari setelah curhat massal di acara ‘buka kamar’
itu, Lucy menelpon gue. Dia memutuskan untuk meneruskan kehamilannya. Gue
berdoa, semoga aja keputusannya itu diambil berdasarkan hati, bukan semata peer pressure.
***
Di pertengahan bulan Oktober Lucy mengundang my girls untuk
selamatan 40 hari lahirnya Aidan putra pertama Lucy dan Dylan. Kami para
‘tante’ tentunya dengan semangat membara menghujani keponakan kecil kami ini
dengan berbagai kado dan doa. Lucy tampak bahagia. Dia menatap gue penuh arti
sambil berbisik, “ Sa…gue rasa keeping
Aidan adalah keputusan terbaik yang pernah gue ambil. I love him so much.”
Butuh 5 bulan setelah itu, sampai suatu malam gue dibangunkan
oleh deringan telpon genggam gue di jam 2 pagi. Gue sempat tertidur di depan komputer
setelah semalaman berkutat dengan proposal skripsi. Dering telepon yang tak
putus-putus memaksa gue duduk, berusaha mengumpulkan nyawa gue yang tercecer
sebelum akhirnya memutuskan untuk mengangkat telpon dari…Lucy!
“Yaaaaa…” jawab gue malas malasan. Manusia normal lainnya
sedang tertidur lelap jam segini, jadi jangan salahkan gue karena kurang
antusias menjawab telpon, walaupun itu dari sahabat gue sekalipun. Di seberang
sana terdengar suara tangisan bayi yang cukup nyaring, dan samar samar gue
denger suara tangisan orang dewasa juga, itu suara Lucy. Oh, God….ada apa ini?
“Luce, kamu kenapa?? Aidan kenapa????” gue mulai panik.
“Sa…gue nggak tau deh
Aidan kenapa! Dia nggak mau berenti nangis. Gue cape, Sa….udah 3 malam gue
nggak tidur…Dylan sih enak enak aja tidur….Saaaaaaaaa…ampun deh, gue mau mati
aja!”suara Lucy terdengar bergetar, seperti bener bener putus asa. Gue pun
bergegas mengganti piyama gue dengan jeans dan t-shirt, “OK-ok….Gue ke sana, Luce…”
Begitu sampai di rumah Lucy, gue disambut dengan tampang
kusut Lucy yang menggendong Aidan. Bocah lucu itu benar benar ngamuk rupanya,
tidak menyisakan keimutan sama sekali, Aidan lebih mirip bom waktu yang sudah
mau meledak malam itu.
“Mau ke rumah sakit ? Ayo gue anter aja…kenapa sih dia, Luce?
Sakit? Dylan kemana?”tanya gue agak membombardir. Lucy nggak menjawab,
menyambar tas dan keperluan Aidan mengajak gue segera mengarah ke Unit Gawat
Darurat Rumah Sakit terdekat.
Lucy menunggu sampai kita di mobil, sebelum dia ikutan nangis
berderai air mata. Sukseslah mobil gue dipenuhi orang nangis! Untung gue bukan
type orang celamitan yang langsung kepingin ikutan nangis juga.
Gue nggak ngerti apa yang dokter jaga lakukan ke Aidan, tapi
yang jelas bayi ngamuk tadi sudah anteng bobo dalam beberapa menit. Lucy tampak
capek banget, tapi kelihatan lebih tenang karena Aidan sudah tenang.
“Gue sebel sama Dylan, Sa…kemarin waktu Aidan susah tidur,
nangis nangis, Dylan malah marah sama gue. Suruh diem tuh anakmu, kata dia, gue
butuh tidur. ….emangnya Aidan itu cuma anak gue aja???? Kan anak dia juga, Sa… terus
tadi waktu Aidan ngamuk lagi, Dylan malah pindah tidur di pavilliun…bukannya
bantuin gue.” Lucy kembali berlinangan ai mata. “Alasan Dylan selalu sama; kamu
kan besok nggak harus ke kantor…memang dia pikir gue di rumah seneng seneng???
Sini kalo mau tukeran sama gue….biar gue yang ngantor, dia yang jaga
Aidan….”suara Lucy mengeras, dan Aidan bergerak dalam tidurnya. Oh no, jangan
sampe dia ngamuk lagi aja! Untung sepertinya Aidan sudah kecapekan nangis, jadi
dia meneruskan tidur. Disitulah gue menyadari, Lucy belom bisa sepenuhnya
merelakan status active girl-nya berubah menjadi stay home mom. Lucy masih
menangis sepanjang jalan, dia berbisik,”Gue ibu yang jahat, ya Sa…? Tapi I don’t like my life right now….even with
Aidan in it.”
“Lo nggak jahat, Luce…lo pasti sayang Aidan….mungkin lo cuma
nggak suka dan belom terbiasa sama keadaan sekarang…baby blues aja kali,
say…you’ll manage…gue tau, elo orang paling capable yang gue kenal…sabar ya,
kan ada kita kita…” itu adalah sebait rayuan gombal ala gue yang saat itu bisa
gue kerahkan buat menenangkan Lucy. “Naaah, now that you are up, tolong
proofread proposal skripsi gue yah….”gue nyengir berusaha push my limit.
Untungnya jebakan gue berhasil J.
***
Di pesta ulang tahun Aidan yang ke
dua, Lucy mengumumkan berita diterimanya dia di sebuah perusahaan international
ternama ke my girls. “I’m going back to work, girls!”serunya bahagia. Tergambar
jelas excitement di setiap tarikan senyumnya. Hell yeah, girls rule! Kita cuma kaget karena sebelumnya, yang kita
dengar adalah justru Dylan, suami Lucy yang tertarik untuk hijrah ke perusahaan
tersebut. Ada sedikit rasa nggak tega
untuk ngingetin Lucy, bahwa mungkin Dylan nggak akan terlalu nyaman dengan
berita bahagia-nya itu. Dan dengan sangat menyesal, dugaan kita ternyata benar.
“loh…kenapa juga dia musti sewot, Sa….come on….ini kan fair,
kita sama sama applied. I ended up getting the job, memang bagian mananya yang salah
gue?? he should just suck it up….enggak laaa dia nggak marah”elak Lucy penuh
keyakinan waktu gue coba kasih tau soal Dylan. Oh well, mungkin Lucy lebih tau
bagaimana Dylan, so I simply shut up.
Gue pribadi nggak bisa sepenuhnya
menyalahkan Dylan yang akhirnya mutung, karena kalah dalam persaingan. He’s a
guy after all. Tidak mudah untuk menerima kekalahan dari rival kita, apalagi
kalau rival yang mengalahkan kita justru sang istri tercinta? Yang gue
sayangkan disini adalah keputusan Lucy untuk tetep try out for the job, walaupun dia tau Dylan juga mengejar posisi di
sana. Apa nggak ada tempat kerja lain sih? Mungkin orang akan mikir seperti
itu, tapi gue cukup kenal Lucy. Disini sepertinya ego Lucy bicara. Lucy dari
dulu selalu punya ambisi untuk perform, karena simple aja…Lucy memang punya
kemampuan yang lebih dari cukup untuk itu. Lebih dari dua tahun sudah Lucy
menekan ambisinya dalam dalam dan menjalani posisinya sebagai istri rumahan
teladan. Dulu hambatan sekaligus prioritas utama dalam hidupnya adalah Aidan
yang masih sangat bergantung dengan keberadaan Lucy di rumah. Namun sekarang, Aidan
sudah mulai bisa diajak kompromi, sudah nggak rewel kalau dititipkan di rumah
orangtua Lucy yang tidak jauh dari kantor. Lalu tunggu apa lagi? Enough
waiting…it’s time to shine…dia butuh moment pembuktian diri, and she took the
chance.
Hanya sayangnya, it might cost
her….her marriage.
Tidak semua my girls
menyadari pernikahan Lucy mulai mengalami keretakan setelah kejadian di ulang
tahun Aidan waktu itu. Tapi gue tau. Lucy sendiri sangat bahagia mendapatkan
kembali girl powernya, pengakuan dari dunia bahwa ia mampu setara dengan
sekumpulan manusia sukses di luar sana. Kemapanan dan kemandiriannya secara finansial
belakangan ini pun mulai menjadi duri dalam daging. Dylan yang dulu nampak
percaya diri dan superior dalam perkawinan mereka, semakin kehilangan ‘sinar’
nya. Outshined by his own darling wife.
Hubungan Lucy yang mulai nggak
harmonis dengan Dylan tampak jelas waktu keduanya datang sendiri sendiri ke resepsi
pernikahan gue. Lucy datang membawa Aidan, sementara Dylan datang bersama some
girl yang dikenalkannya ke kita sebagai temen di kantor. Oy! Even I know it means trouble….Herannya, Lucy
sendiri tampak tenang, seperti tidak terganggu sama sekali dengan hadirnya si
‘temen kantor’ Dylan.
Waktu akhirnya kita punya waktu untuk
ngumpul dan bertukar cerita lagi, Lucy dengan tegar mengumumkan kalau dia dan
Dylan sudah sepakat untuk bercerai. Proses sidang cerai sudah hampir selesai
dan Lucy mendapat hak asuh Aidan secara penuh. Sungguh ironis kalau dipikir
bagaimana sidang perceraian mereka berlangsung begitu cepat dan lancar, secepat
pinangan pernikahan dari Dylan setelah sidang skripsi Lucy 4 tahun yang lalu. Mungkin
ada benarnya all that speech mengenai
roda kehidupan yang setiap saat dapat bergerak dengan tempo yang tak bisa di
duga. Kadang roda kita sedang berada di putaran atas dan life seems easy, next
thing we know kita sedang terpuruk di putaran terbawah.
“Oh ya, by the way….akhir bulan depan lo semua diundang Dylan
untuk dateng ke kawinannya dia ya” kata Lucy menutup pengumumannya. Ada nada
miris di suaranya. Kita semua sempet speechless, tapi mau bilang apa kalau
memang faktanya seperti itu. Lucy bilang ini keputusan yang terbaik untuk saat
ini, buat dia, buat Dylan walau kini keluarga kecil mereka harus terpecah. Lucy
janji dia akan usahakan semua yang dia bisa untuk kebahagiaan Aidan, tapi untuk
tetap berada di dalam ikatan pernikahan yang sudah kehilangan persamaan visi, misi,
dan cinta….. tampaknya bukan pilihan win – win yang bisa Lucy ambil.
Gue nggak pernah sekalipun mengira
gambaran seperti inilah yang ada di kehidupan seorang Lucy, looking back di 4 tahun yang lalu. Lucy
the anomaly yang selalu pertama mencapai finish line, Lucy yang selalu kita
pikir untouchable dari segala masalah dan kesulitan. Lucy cuma manusia biasa.
Seperti gue, seperti all my girls dengan porsi masalah kita masing masing.
Manusia memang hanya bisa berencana.
/shn2010
|